Pada
beberapa abad sebelum masehi, filsuf-filsuf Yunani, di antaranya Leucippus dan
Democritus berpendapat bahwa semua materi terdiri dari partikel-partikel kecil
yang tak terbagi. Democritus menyatakan bahwa jika suatu materi dibagi menjadi
bagian yang lebih kecil kemudian terus dibagi lagi maka akan sampai pada suatu
saat di mana didapat bagian yang sangat kecil yang tidak dapat dihancurkan atau
dibagi lagi yang disebut atom (‘atomos’ dalam bahasa Yunani yang artinya ‘tak
terbagi’)
Namun,
pemikiran filosofis tersebut tidak begitu diterima pada saat itu hingga pada
awal abad ke-18, John Dalton merumuskan teori atom yang berhasil menjelaskan
hukum-hukum dasar kimia – hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap, dan
hukum kelipatan perbandingan.
Perkembangan model atom dari waktu ke waktu
(Sumber: Stacy, Angelica M. 2015. Living by Chemistry (2nd edition). New York: W.H. Freeman and Company)
(Sumber: Stacy, Angelica M. 2015. Living by Chemistry (2nd edition). New York: W.H. Freeman and Company)
Teori Atom
Dalton
Teori
atom Dalton menyatakan bahwa:
- Setiap unsur tersusun dari partikel yang sangat teramat kecil yang disebut atom.
- Semua atom dari satu unsur yang sama adalah identik, namun atom unsur satu berbeda dengan atom unsur-unsur lainnya.
- Atom dari satu unsur tidak dapat diubah menjadi atom dari unsur lain melalui reaksi kimia; atom tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan dalam reaksi kimia.
Senyawa terbentuk dari kombinasi
atom-atom dari unsur-unsur yang berbeda dengan rasio atom yang spesifik.
Teori
atom Dalton ini memberikan gambaran model atom seperti model bola pejal atau
model bola billiard.
Teori Atom J.J. Thomson
Pada tahun 1897, J.J.
Thomson melakukan eksperimen dengan sinar katoda. Eksperimen tersebut
menunjukkan bahwa sinar katoda terdefleksi (terbelokkan) oleh medan magnet
maupun medan Hal ini menunjukkan bahwa
sinar katoda merupakan radiasi partikel yang bermuatan listrik. Pada eksperimen
dengan medan listrik, sinar katoda terbelokkan menuju ke arah kutub bermuatan
positif. Hal ini menunjukkan bahwa sinar katoda merupakan radiasi partikel bermuatan
negatif. Selanjutnya, partikel sinar katoda ini disebut sebagai elektron.
Penemuan elektron ini kemudian mengacu pada kesimpulan bahwa di dalam atom
terdapat elektron yang bermuatan negatif. Menurut model atom Thomson, elektron
bermuatan negatif tersebar dalam bola bermuatan positif seperti model roti
kismis, di mana kismis-kismis adalah elektron-elektron, dan roti adalah bola
bermuatan positif.
Teori Atom Rutherford
Pada tahun 1911, Ernest Rutherford melakukan
eksperimen menembakkan partikel α — partikel
bermuatan positif — pada lempeng
emas tipis. Ia menemukan bahwa sebagian besar partikel-partikel α tersebut
menembus melewati lempeng emas, namun ada sebagian yang mengalami pembelokan
bahkan terpantulkan. Hal ini mengacu pada kesimpulan model atom Rutherford:
model inti, di mana dalam atom yang sebagian besar merupakan ruang kosong
terdapat inti yang padat pejal dan masif bermuatan positif yang disebut sebagai
inti atom; dan elektron-elektron bermuatan negatif yang mengitari inti atom
Teori Atom Bohr
Pada tahun 1913, Niels
Bohr mengajukan model atom untuk menjelaskan fenomena penampakan sinar dari
unsur-unsur ketika dikenakan pada nyala api ataupun tegangan listrik tinggi.
Model atom yang ia ajukan secara khusus merupakan model atom hidrogen untuk menjelaskan
fenomena spektrum garis atom hidrogen. Bohr menyatakan bahwa elektron-elektron
bermuatan negatif bergerak mengelilingi inti atom bermuatan positif pada jarak
tertentu yang berbeda-beda seperti orbit planet-planet mengitari matahari. Oleh
karena itu, model atom Bohr disebut juga model tata surya. Setiap
lintasan orbit elektron berada tingkat energi yang berbeda; semakin jauh
lintasan orbit dari inti, semakin tinggi tingkat energi. Lintasan orbit
elektron ini disebut juga kulit elektron. Ketika elektron jatuh dari orbit yang
lebih luar ke orbit yang lebih dalam, sinar yang diradiasikan bergantung pada
tingkat energi dari kedua lintasan orbit tersebut.
Teori Atom Mekanika Kuantum
Pada tahun 1924, Louis
de Broglie menyatakan hipotesis dualisme partikel-gelombang — semua materi
dapat memiliki sifat seperti gelombang. Elektron memiliki sifat seperti
partikel dan juga sifat seperti gelombang. Pada tahun 1926, Erwin Schrödinger
merumuskan persamaan matematis yang kini disebut
persamaan gelombang Schrödinger, yang memperhitungkan sifat seperti partikel
dan seperti gelombang dari elektron. Pada tahun 1927, Werner Heisenberg
mengajukan asas ketidakpastian Heisenberg yang menyatakan bahwa posisi elektron
tidak dapat ditentukan secara pasti, namun hanya dapat ditentukan peluang
posisinya. Teori-teori — dualisme partikel gelombang, asas ketidakpastian
Heisenberg, dan persamaan Schrödinger—ini kemudian menjadi dasar dari teori
atom mekanika kuantum. Penyelesaian persamaan Schrödinger menghasilkan fungsi
gelombang yang disebut orbital. Orbital biasanya digambarkan seperti awan
elektron, di mana kerapatan awan tersebut menunjukkan peluang posisi elektron.
Semakin rapat awan elektron maka semakin tinggi peluang elektron, begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, model atom mekanika kuantum disebut juga model
awan elektron.
Sebelumnya, pada tahun 1919, Rutherford berhasil
menemukan partikel bermuatan positif, yang disebut proton, dari eksperimen
penembakkan partikel α pada atom nitrogen di udara. Lalu, pada tahun 1932,
James Chadwick menemukan partikel netral, yang disebut neutron, dari eksperimen
bombardir partikel α pada berbagai unsur. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa dalam model awan elektron, awan elektron terdiri dari elektron-elektron
bermuatan negatif yang bergerak sangat cepat mengelilingi inti atom yang
tersusun dariproton yang bermuatan positif dan neutron yang tak bermuatan.
Comments
Post a Comment